YANG MEMBUAT SENYUMKU ABADI
Dewi Rohayati
I was
once like you are now and I know that it's
not easy
To be calm when you've found something going on
But take your time, think a lot
Think of everything you've got
For you will still be here tomorrow
But your dream may not
To be calm when you've found something going on
But take your time, think a lot
Think of everything you've got
For you will still be here tomorrow
Aku tak ingat kapan dan di mana pertama kali aku
mendengar lirik lagu ini.Aku bahkan tak tahu bahwa penyanyinya adalah serang
mega bintang rock era tahun 80an yang jadi muallaf. Pada awalya, aku pun tak
terlalu paham isi lirik lagu ini. Tapi syairnya yang mengalun seperti dialog
ayah dan putranya, suara penyanyinya yang lembut tapi bertenaga dan berkharisma
membuatku penasaran.
Dan setelah ditelusuri ke sana ke mari, ternyata..lagu
ini tentang kita, Pak. Dan mulai saat itu, lagu ini menjadi favoritku. Aku
bisa terdiam mematung ketika mendengar
lirik lagu ini diputar di suatu toko. Aku menjerit girang atau berhenti
membaca, makan dan bekerja ketika mendengar lagu ini di radio.
Aku adalah “Pecinta Ayah” nomor 1 di dunia. Kupikir di
dunia ini tak ada orang yang mencintai ayahnya seperti aku mencintai
ayahku. Tak ada anak gadis yang lebih dekat dengan ayahnya daripada Ibunya,
seperti aku. Sosok yang kucintai dalam diam, sosok yang kucintai saat jauh
& dekat, sosok yang tak pernah berhenti kucintai saat ada dan tiada ini
memang sosok yang luar biasa.
Masa-masa awal adalah kenangan yang samar dan kelabu.
Kau dulu sosok yang kutakuti (dan sedikit kubenci mungkin?)…tatapan marahmu
ketika aku merobek kertas kerjamu, menghilangkan pensilmu, merengek tidak mau
sekolah karena sering diejek/dibully teman, sabetan lidimu ketika aku tidak
shalat/ngaji, ketika aku pulang telat. Hukuman tidak diberi uang saku, bentakanmu yang
menggelegar...bantingan pintumu ketika marah.
Dulu, aku kira kau membenciku dan lebih menyayangi
adikku…adikku yang cantik dan sehat yang selalu kau banggakan itu. Sedang aku
hanyalah gadis hitam, pendiam & sering merepotkanmu dengan segudang
penyakit.
Kukira dulu kau pilih kasih padaku, saat kau memaksaku
sekolah agama di sore hari, sedang adikku main dengan gank-nya. Saat kau
mencekokiku dengan majalah Bobo, Intisari, Suara Hidayatullah…lalu derajatnya
meningkat menjadi PAnji Islam, Karl May, Alfred Hitckock, HAMKA, Jamaluddin al
Afghani, Muhammad Abduh, A.Hassan, Al Ghazali dll. Dulu, aku membaca semua itu
dengan terpaksa karena rasa segan dan takutku padamu.
Lalu perlahan, seiring waktu, persepsiku terhadapmu
berubah. Kau adalah sosok yang menatapku
dengan cemas ketika aku dirawat di RS…pontang-panting mencari nafkah untuk
biaya berobat dan pendidikanku. Sering kulihat kau jalan kaki ke mana-mana…dari
satu PT ke PT lain, dari PT ke Kantor Pos dan Kantor PAjak..sementara aku naik
angkot ke mana-mana dengan hasil jerih
payahmu.
Kau yang berpakaian sederhana dan selalu mengambil
bagian yang gosong dari masakan Ibu, sementara baju dan bukuku baru.
Kau yang tak pernah ketinggalan shalat fardlu dan
tahajjud selarut apa pun kau bekerja, padahal kau baru benar-benar mengenal
islam di usia 40 tahun, padahal kau tidak bisa baca tulis Arab…doa-doa shalat
pun kau hafal dari huruf latin.
Kau yang membelikanku bedak Sari
Pohaci ketika aku berjerawat, padahal aku tak memintanya.Kau yang selalu pulang
membawa buku/majalah bekas, padahal kondisi keuangan kita sangat pas-pasan. Ah,
adakah ayah yang sehebat ayahku?
Masih kuingat saat itu, ketika kau berteriak sepulang
dipanggil wali kelasku, “Dasar guru brengsek, masa nyuruh Bapak menyuap/nyogok
biar nilai EBTANAS (UN)mu bagus dan kamu bisa masuk SMPN 1! Udah Wi, kamu
belajar aja yang bener, masuk SMP Kecamatan juga ga apa-apa, daripada masuk
SMPN 1 hasil nyogok dan nyontek.”
Saat
itu, mungkin kau tak sadar bahwa kau telah mengajariku untuk berpegang teguh
pada kejujuran..unforgottable value.
Pernah
pula kudengar seorang paman dan tetangga berujar, “Ayah kamu itu, Wi…dermawan
sekali.” Padahal kita bukan orang berada/kaya.
Kalau kuputar memori itu, saat kita berbincang tentang
Islam, politik, sosial, pendidikan, jamaah/harakah/khilafah…baru kusadari kini
betapa ternyata wawasanmu begitu luas
dan melampaui jamannya.
Betapa aku bangga pada lelaki pendiam ini. Padahal
awalnya, aku bosan dengan kisah usangmu, kisah usang yang terus kau putar
ulang:::
Kau yang pejuang angkatan 66, kau yang mengundurkan
diri dari jabatan tinggimu di Dirjen Pajak karena merasa harta yang kau peroleh
tidak halal dan tidak berkah, kau yang kenal dengan Ahmad Subarjo, A.H.
Nasution dkk (tokoh sejarah di Indonesia),
kau yang membiayai sendiri kuliahmu, kau yang jadi tulang punggung keluarga.
Ada saat-saat ketika aku merasa sudah dewasa, merasa
sudah tahu tentang hidup dan “berjuang”, merasa bahwa duniamu/jalanmu bukan
dunia/jalanku, merasa ingin segera pergi dari bayangmu.
Aku bosan dengan obrolan kita yang serius itu…aku
merasa didoktrin. Aku masih remaja ketika itu, bukan hal-hal seperti ini yang
ingin kubahas. Tapi perlahan, kita menjadi dekat…aku mulai memahamimu dan
bercerita tentang hari-hariku, perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiranku padamu.
Kadang tanpa disadari, kita sering bedah buku dalam obrolan kita, di depan
teras rumah kita yang sederhana.
**********
Hari-hari akhir adalah tentang mencintaimu. Tentang
tekadku untuk menjagamu, memberi semua yang kubisa di hari tuamu…uang, waktu,
tenaga, kasih sayang dan doa. Untuk menjadi sosok yang membuatmu bangga. Padahal
nyatanya kau memang sering membanggakan prestasi-prestasi belajar dan jilbab
panjangku. Seperti aku sering sekali membanggakanmu…sampai-sampai
sahabat-sahabat dekatku menjuluki aku “Anak Bapak”.
Tahun-tahun akhir adalah tentang aku yang menatap
punggung ringkihmu, kepalamu yang penuh uban
ketika kau pergi bekerja…mendoakanmu setiap hari…menatapmu dengan rasa
takut kehilangan. “Aku mencintaimu..aku mencintaimu…aku mencintaimu, Pak.”
Adalah dzikir hatiku saat itu.
“Kalau
Bapak meninggal, nitip/jaga Mamah ya Wi dan Bapak ga mau ada tahlilan untuk Bapak.”
katanya suatu senja.
“Buku-buku
Bapak buat teteh semua ya kalau Bapak pergi.”
jawabku dengan nada bercanda.
“Ya,
buat siapa lagi? Kamu itu beda Wi, hidup kamu penuh ujian..makanya Bapak keras
sama kamu. Ingat Wi, kamu harus jadi orang yang tangguh dan berilmu agar tidak
diremehkan orang.” pesan beliau yang terus melekat hingga kini.
Tapi hidup punya jalannya sendiri. Tahun-tahun awal
kepergianmu terasa panjang, berat, dan sepi. Di satu sisi bergulat dengan peran
baru sebagai tulang punggung keluarga, di sisi lain didera rasa menyesal…kau
pergi sebelum sempat merasakan baktiku. Sempat terpikir, betapa Allah tidak
adil dan mengabaikanku.
Tapi Allah memang punya jalannya sendiri untuk
“mendidik” kita. Sejak kepergianmulah…semangatku untuk menjadi “anak shalih”
makin menjadi, rasa penghargaan dan tanggung jawabku terhadap Mamah pun makin
tumbuh.
Bapak,
takkah kau kau lihat sosokku di bumi kini?
Begitu
dewasa, berjilbab panjang…menghafal Quran & jadi tulang punggung
keluarga..berdiri di kuburmu & tidak menangis. Impianku masih sama Pak:
bertemu denganmu di surga, menatap wajah
Allah bersama.
Aku baik-baik saja, Pak. Allah menjaga dan merahmatiku
setiap hari. Jangan khawatir tentang kami. Jangan merasa bersalah karena
“pergi”….kau telah memberi yang terbaik.
Seperti kata Kang Tae Young, “Kaulah yang membuat senyumku
abadi. Kaulah yang membuat aku tak takut mengahadapi apa pun dalam hidup.
Ayah….”
SEMANGAT! n_n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar