Senin, 14 Desember 2015

YANG MEMBUAT SENYUMKU ABADI



YANG MEMBUAT SENYUMKU ABADI
Dewi Rohayati

I was once like you are now and I know that it's not easy
To be calm when you've found something going on
 But take your time, think a lot
Think of everything you've got
 For you will still be here tomorrow
But your dream may not


Aku tak ingat kapan dan di mana pertama kali aku mendengar lirik lagu ini.Aku bahkan tak tahu bahwa penyanyinya adalah serang mega bintang rock era tahun 80an yang jadi muallaf. Pada awalya, aku pun tak terlalu paham isi lirik lagu ini. Tapi syairnya yang mengalun seperti dialog ayah dan putranya, suara penyanyinya yang lembut tapi bertenaga dan berkharisma membuatku penasaran.



Dan setelah ditelusuri ke sana ke mari, ternyata..lagu ini tentang kita, Pak. Dan mulai saat itu, lagu ini menjadi favoritku. Aku bisa  terdiam mematung ketika mendengar lirik lagu ini diputar di suatu toko. Aku menjerit girang atau berhenti membaca, makan dan bekerja ketika mendengar lagu ini di radio.



Aku adalah “Pecinta Ayah” nomor 1 di dunia. Kupikir  di  dunia ini tak ada orang yang mencintai ayahnya seperti aku mencintai ayahku. Tak ada anak gadis yang lebih dekat dengan ayahnya daripada Ibunya, seperti aku. Sosok yang kucintai dalam diam, sosok yang kucintai saat jauh & dekat, sosok yang tak pernah berhenti kucintai saat ada dan tiada ini memang sosok yang luar biasa.



Masa-masa awal adalah kenangan yang samar dan kelabu. Kau dulu sosok yang kutakuti (dan sedikit kubenci mungkin?)…tatapan marahmu ketika aku merobek kertas kerjamu, menghilangkan pensilmu, merengek tidak mau sekolah karena sering diejek/dibully teman, sabetan lidimu ketika aku tidak shalat/ngaji, ketika aku pulang telat. Hukuman tidak diberi  uang saku, bentakanmu yang menggelegar...bantingan pintumu ketika marah.



Dulu, aku kira kau membenciku dan lebih menyayangi adikku…adikku yang cantik dan sehat yang selalu kau banggakan itu. Sedang aku hanyalah gadis hitam, pendiam & sering merepotkanmu dengan segudang penyakit.



Kukira dulu kau pilih kasih padaku, saat kau memaksaku sekolah agama di sore hari, sedang adikku main dengan gank-nya. Saat kau mencekokiku dengan majalah Bobo, Intisari, Suara Hidayatullah…lalu derajatnya meningkat menjadi PAnji Islam, Karl May, Alfred Hitckock, HAMKA, Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, A.Hassan, Al Ghazali dll. Dulu, aku membaca semua itu dengan terpaksa karena rasa segan dan takutku padamu.



Lalu perlahan, seiring waktu, persepsiku terhadapmu berubah. Kau adalah sosok yang  menatapku dengan cemas ketika aku dirawat di RS…pontang-panting mencari nafkah untuk biaya berobat dan pendidikanku. Sering kulihat kau jalan kaki ke mana-mana…dari satu PT ke PT lain, dari PT ke Kantor Pos dan Kantor PAjak..sementara aku naik angkot  ke mana-mana dengan hasil jerih payahmu.



Kau yang berpakaian sederhana dan selalu mengambil bagian yang gosong dari masakan Ibu, sementara baju dan bukuku baru.



Kau yang tak pernah ketinggalan shalat fardlu dan tahajjud selarut apa pun kau bekerja, padahal kau baru benar-benar mengenal islam di usia 40 tahun, padahal kau tidak bisa baca tulis Arab…doa-doa shalat pun kau hafal dari huruf latin.



                Kau yang membelikanku bedak Sari Pohaci ketika aku berjerawat, padahal aku tak memintanya.Kau yang selalu pulang membawa buku/majalah bekas, padahal kondisi keuangan kita sangat pas-pasan. Ah, adakah ayah yang sehebat ayahku?



Masih kuingat saat itu, ketika kau berteriak sepulang dipanggil wali kelasku, “Dasar guru brengsek, masa nyuruh Bapak menyuap/nyogok biar nilai EBTANAS (UN)mu bagus dan kamu bisa masuk SMPN 1! Udah Wi, kamu belajar aja yang bener, masuk SMP Kecamatan juga ga apa-apa, daripada masuk SMPN 1 hasil nyogok dan nyontek.”

               

Saat itu, mungkin kau tak sadar bahwa kau telah mengajariku untuk berpegang teguh pada  kejujuran..unforgottable value.

Pernah pula kudengar seorang paman dan tetangga berujar, “Ayah kamu itu, Wi…dermawan sekali.” Padahal kita bukan orang berada/kaya.



Kalau kuputar memori itu, saat kita berbincang tentang Islam, politik, sosial, pendidikan, jamaah/harakah/khilafah…baru kusadari kini betapa ternyata  wawasanmu begitu luas dan melampaui jamannya.



Betapa aku bangga pada lelaki pendiam ini. Padahal awalnya, aku bosan dengan kisah usangmu, kisah usang yang terus kau putar ulang:::



Kau yang pejuang angkatan 66, kau yang mengundurkan diri dari jabatan tinggimu di Dirjen Pajak karena merasa harta yang kau peroleh tidak halal dan tidak berkah, kau yang kenal dengan Ahmad Subarjo, A.H. Nasution  dkk (tokoh sejarah di Indonesia), kau yang membiayai sendiri kuliahmu, kau yang jadi tulang punggung keluarga.



Ada saat-saat ketika aku merasa sudah dewasa, merasa sudah tahu tentang hidup dan “berjuang”, merasa bahwa duniamu/jalanmu bukan dunia/jalanku, merasa ingin segera pergi dari bayangmu.



Aku bosan dengan obrolan kita yang serius itu…aku merasa didoktrin. Aku masih remaja ketika itu, bukan hal-hal seperti ini yang ingin kubahas. Tapi perlahan, kita menjadi dekat…aku mulai memahamimu dan bercerita tentang hari-hariku, perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiranku padamu. Kadang tanpa disadari, kita sering bedah buku dalam obrolan kita, di depan teras rumah kita yang sederhana.



**********

Hari-hari akhir adalah tentang mencintaimu. Tentang tekadku untuk menjagamu, memberi semua yang kubisa di hari tuamu…uang, waktu, tenaga, kasih sayang dan doa. Untuk menjadi sosok yang membuatmu bangga. Padahal nyatanya kau memang sering membanggakan prestasi-prestasi belajar dan jilbab panjangku. Seperti aku sering sekali membanggakanmu…sampai-sampai sahabat-sahabat dekatku menjuluki aku “Anak Bapak”.



Tahun-tahun akhir adalah tentang aku yang menatap punggung ringkihmu, kepalamu yang penuh uban  ketika kau pergi bekerja…mendoakanmu setiap hari…menatapmu dengan rasa takut kehilangan. “Aku mencintaimu..aku mencintaimu…aku mencintaimu, Pak.” Adalah dzikir hatiku saat itu.





“Kalau Bapak meninggal, nitip/jaga Mamah ya Wi dan Bapak ga mau ada tahlilan untuk Bapak.” katanya suatu senja.

“Buku-buku Bapak buat teteh semua ya kalau Bapak pergi.” jawabku dengan nada bercanda.

“Ya, buat siapa lagi? Kamu itu beda Wi, hidup kamu penuh ujian..makanya Bapak keras sama kamu. Ingat Wi, kamu harus jadi orang yang tangguh dan berilmu agar tidak diremehkan orang.” pesan beliau yang terus melekat hingga kini.



Tapi hidup punya jalannya sendiri. Tahun-tahun awal kepergianmu terasa panjang, berat, dan sepi. Di satu sisi bergulat dengan peran baru sebagai tulang punggung keluarga, di sisi lain didera rasa menyesal…kau pergi sebelum sempat merasakan baktiku. Sempat terpikir, betapa Allah tidak adil dan mengabaikanku.



Tapi Allah memang punya jalannya sendiri untuk “mendidik” kita. Sejak kepergianmulah…semangatku untuk menjadi “anak shalih” makin menjadi, rasa penghargaan dan tanggung jawabku terhadap Mamah pun makin tumbuh.

Bapak, takkah kau kau lihat sosokku di bumi kini?

Begitu dewasa, berjilbab panjang…menghafal Quran & jadi tulang punggung keluarga..berdiri di kuburmu & tidak menangis. Impianku masih sama Pak: bertemu denganmu  di surga, menatap wajah Allah bersama.



Aku baik-baik saja, Pak. Allah menjaga dan merahmatiku setiap hari. Jangan khawatir tentang kami. Jangan merasa bersalah karena “pergi”….kau telah memberi yang terbaik.



Seperti kata Kang Tae Young, “Kaulah yang membuat senyumku abadi. Kaulah yang membuat aku tak takut mengahadapi apa pun dalam hidup. Ayah….”

SEMANGAT!  n_n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar