Senin, 16 November 2015

Seribu Nyawa Landak



Seribu Nyawa Landak
Hana’ Sausan Jupriyanto

            Konon, ribuan tahun yang lalu, ketika hewan-hewan masih dengan leluasa berbicara satu sama lain tanpa harus selalu khawatir diketahui manusia, hiduplah seekor landak yang malang. Karena nasibnya yang selalu sial itulah ia dikenal sebagai Si Landak Sial.
            Pada suatu hari, Si Landak Sial tengah uring-uringan menapakkan kaki-kaki mungilnya di tengah ganasnya musim paceklik. Bagaimana tidak? Lihatlah, musim paceklik selalu berhasil menumpuk kesialannya. Sudah tiga hari Si Landak Sial tidak menjumpai makanannya, dan sudah tiga hari pula Si Landak Sial tidak juga mengisi perutnya.
            Dan siang ini adalah puncak penderitaannya. Dengan perut tanpa penghuni sejentik pun, di bawah teriknya mentari musim paceklik, Si Landak Sial benar-benar tersungkur, dagunya sempurna berkontak dengan tanah. Dan ketika Si Landak Sial benar-benar merasa akan berakhir saat itu juga, sebuah keajaiban melintas.

            “Selamat siang, Paman Landak yang selalu Sial!” lihatlah, kini telah berdiri dengan gagahnya seekor anak gajah tepat di depan hidung Si Landak Sial.
            Sekonyong-konyong, saat itu juga, dagu Si Landak Sial kembali terangkat. Dendam tak berkesudahan, entah kekuatan darimana yang didapatnya untuk kembali bangkit seketika itu juga ketika melihat musuh bebuyutannya berdiri mengejek, “Hei, Anak Gajah! Apa maumu? Apa yang kamu lakukan di sini?”
            “Jangan begitu, Paman.” Anak Gajah mengitari tubuh kerdil Si Landak Sial, masih dengan tatapan merendahkan, “Sudah untung ada saya di sini. Melihat dari wajah suram Paman Landak, perkiraan saya yang sulit sekali meleset mengatakan Paman tengah sekarat. Jika tidak ada saya, siapa yang akan menyingkirkan bangkai busuk Paman kelak?”
            “Berani sekali kamu, Anak Gajah!” gigi Si Landak Sial bergemerutuk, sorotan matanya yang menusuk pertanda tidak baik, “Begini saja. Selama ini kamu selalu merasa lebih kuat dariku. Bagaimana jika kita mengadakan duel?”
            Demi melihat wajah sungguh-sungguh Si Landak Sial, Anak Gajah terpingkal-pingkal, “Paman jangan bercanda! Bukankah kalau begitu sudah jelas siapa yang menang?”
            “Lihatlah, bayi besar sepertimu bahkan sudah kalah sebelum berperang!” seloroh Si Landak Sial memanas-manasi. Tawa Anak Gajah seketika hilang dari peredaran.
            “Baik jika Paman memaksa. Toh, apa yang Paman harapkan dari kesialan Paman?”
~***~
            Seisi rimba heboh, bahkan beberapa kalang kabut. Begitu kabar mengejutkan itu mengudara, penghuni rimba segera saja bergerak pesat. Nyaris seluruh penghuni rimba memojokkan Si Landak Sial. Mengatakan yang inilah, yang cari matilah, yang itulah. Tapi, toh apa peduli Si Landak Sial?
            Jika ia menang, maka ia akan berjaya dalam waktu cukup lama. Jika ia kalah, maka ia akan mati seketika. Lebih baik ketimbang tidak jadi apa-apa.

            “Untuk duelmu nanti, apa yang akan kamu andalkan, Landak Sial?”
            “Kamu jangan mengada-ada! Sudah jelas keluarga gajah-lah yang terkuat!”
            “Menyerah sajalah, Landak Sial! Sekali sial maka selamanya tetap begitu!”

            Semakin mendekati hari pelaksanaan, cemoohan demi cemoohan bagai makin deras mengguyur kuping Si Landak Sial. Baiklah, untuk fase awal kali ini, kamu boleh berjaya, Anak Gajah!, batin Si Landak Sial dengan rasa kesal yang kian memuncak.
            Kabar menghebohkan ini telah sampai di telinga Lio, Si Raja Hutan. Ketika mendengar ajudannya melapor, Lio hanya tersenyum simpul. Aku mengerti apa yang kamu rencakan, Landak, batinnya. Berita kian memanas, Lio si Raja Hutan mengumumkan akan menentukan jenis duel apakah yang akan ditantang pada keduanya.

            “Yang Mulia, apa maksudnya?” kini, Anak Gajah dan Si Landak Sial telah sempurna menghadap rajanya. Lio seperti biasa, hanya menyungging senyum bijak andalannya.
            “Seperti yang kalian sepakati, duel itu akan dilakukan esok. Dan aku akan senang jika kalian benar-benar mengizinkanku menentukan duel itu.” Lio menganggukkan kepalanya, meminta persetujuan. Anak Gajah dan Si Landak Sial saling tengok, bertukar argumen, meminta pendapat satu-sama lain. Hanya lewat anggukan kecil, namun cukup untuk membuat Lio kembali menyungging senyumnya.

            Kali ini senyum dengan makna lain.
~***~
            “Yak! Berjumpa dengan saya, Ruuse si Rusa, yang akan menemani penonton sekalian selama beberapa waktu kedepan dalam Pertunjukkan Duel antara Anak Gajah dan Si Landak Sial.” ya ampun, gemuruh sorak-sorai memenuhi aula istana. Raja Lio tampak mengawasi dari kejauhan, kali ini dengan senyum yakin.
            “Tanpa menunda-nunda lagi, langsung saja saya bacakan duel tantangan dari Yang Mulia Raja Hutan...” kalimat dengan huruf n sebagai penghujungnya itu menjelma sebagai penyerap keriuhan aula. Seketika, aula menegang. Tidak satu pun berani bersuara, bernafas dengan suara sedikit lebih kencang pun akan sangat mengganggu.
            “Duel pertama, kedua peserta diharuskan untuk memindahkan kayu-kayu ini ke ujung sana dalam waktu 30 detik.”

            Semua terperangah.
            Itu terlalu mustahil! Dikira, duel ini akan diseimbangkan dengan kekuatan kedua belah pihak, rupanya bayang-bayang itu meleset jauh. Sudah jelas siapa yang akan memenangkannya, mana mungkin landak bertubuh kecil mungil itu bisa melakukannya? Lihatlah, Anak Gajah tampak dengan mudahnya memindahkan kayu-kayu dengan belalainya, sementara Si Landak Sial tampak kepayahan membopong setengah dari satu batang kayu.
            Hanya dengan sekali terka, seisi ruangan sudah jelas tahu siapa pemenang duel pertama ini. Dibuktikan dengan kenyataannya yang terjadi 30 detik kemudian; Anak Gajah unggul satu poin di awal dari Si Landak Sial.

            “Duel kedua, masing-masing peserta diharuskan untuk bergelantungan di dahan pohon. Yang terlama adalah pemenangnya.”

            Lagi-lagi, semua terperangah.
            Si Landak Sial hendak menggantung diri di pohon apa? Ketika Si Landak Sial mendekati pohon toge di sisi istana, Ruuse menahannya, dan sejurus kemudian menunjuk satu pohon terendah yang ada di lingkungan istana. Namun, apa daya, pohon terendah pun terlalu tinggi untuk Si Landak Sial.
            Dan di sisi lain, Anak Gajah dengan bangga menunjukkan kebolehannya melakukan beberapa atraksi seraya bergelantungan di salah satu dahan pohon mangga tua.

            “Dua kali menang, namun bukan berarti itu menjanjikan.” Ruuse bagai menyinggung status Anak Gajah secara terang-terangan, “Karena bobot dari duel terakhir sama dengan memenangkan duel-duel sebelumnya.”

            Si Landak Sial tampak telah kehabisan antusiasmenya. Harusnya aku tidak terlalu memaksakan diri, sudah jelas siapa yang menang, pikirnya kala itu. Tatapannya terbuang jauh ke luar jendela istana, berharap duel konyol ini segera berhenti.
            Kebalikannya, Anak Gajah justru semakin bersemangat.

            “Duel terakhir, masing-masing peserta harus mencoba untuk menginjak lawan. Dan yang pertama kali dagunya menyentuh tanah adalah yang tersingkir.”

            WHIINGZ!
            Kedua kelopak mata Si Landak Sial kembali terjaga sepenuhnya. Ini, ini dia yang dinanti-nanti olehnya! Duel inilah yang selama ini ada dalam benaknya!
            Duel terakhir dimulai. Keduanya tampak sengit berusaha mengincar kaki lawan. Entah mujur entah sial, Anak Gajah berkali-kali berhasil menginjak Si Landak Sial, bukan hanya kakinya saja. Namun, semangat Si Landak Sial tidak akan redup lagi. Ia tidak akan sudi membiarkan dagunya menyentuh tanah.

            “Astaga, itu injakkan yang ketujuh kalinya!” bisik penonton.
            “Ia masih hidup? Ya ampun!”
            “Anak Gajah mulai kelelahan. Lihat itu!”
            “Ruuse! Hentikan duel sejenak! Anak Gajah tampak kesusahan!” seekor penonton nekat mengomando.

            Demi melihat ekspresi cemas-marah-kecewa para penonton, maka duel pun dihentikan untuk beberapa saat.
            Baik Anak Gajah maupun Si Landak Sial, keduanya beristirahat di titik awal masing-masing. Jika setelah itu Si Landak Sial duduk termenung sendiri, Anak Gajah justru sebaliknya. Kerabat-kerabatnya heboh mengurus, menyemangati, bahkan memberi masukan.
            Tiba-tiba, kerumunan kerabat jauh maupun dekat dari Anak Gajah berteriak histeris. Lihat! Anak Gajah baru saja membuka kaki-kakinya yang tadi digunakan untuk upaya merobohkan Si Landak Sial, dan kondisinya benar-benar tidak baik.
            Kakinya berdarah-darah, benar-benar mengerikan.

            “Bagaimana mungkin bisa?”
            “Bukankah tadi yang terinjak Si Landak Sial? Mengapa yang kesakitan justru Anak Gajah? Bukankah itu di luar nalar?”
            “Mungkin Landak Sial melakukan kecurangan...”
            “Bukannya aku membela, namun itu tampak mustahil. Ayolah, siapa yang hendak bekerjasama  dengan hewan sepertinya?”

            Bisikan demi bisikan kembali hilir-mudik.
            Si Landak Sial tersenyum puas, ini maksud dari semua kenekatannya. Tidak lama kemudian, Lio si Raja Hutan muncul di belakang Si Landak Sial.  Lalu keduanya mendekati Anak Gajah yang tengah merengek kesakitan di titik awalnya.

            “Bagaimana? Apakah duelnya bisa kembali dilanjut?” tanya Lio si Raja Hutan baik-baik. Bukannya menggeleng atau mengangguk, Anak Gajah justru bangkit dengan amarah menggelora. Bagai kesetanan di siang bolong.
            “Akan kuhabisi Paman saat ini juga!”

            Praaaak!
            Tepat ketika Anak Gajah mendaratkan kakinya di tubuh Si Landak Sial, duri-duri tajamnya itu berdiri sempurna. Duri-duri yang sekian lama disembunyikan dari sepengetahuan warga rimba, yang bahkan hingga Anak Gajah limbung dan dagunya menyentuh tanah pun masih belum diketahui warga rimba.
            Seisi ruangan diam mematung. Sepersekian detik, hingga akhirnya sorak-sorai membanjiri aula istana. Hewan-hewan berdesak-desakan turun dari podium untuk memberi selamat pada Si Landak Sial.
            Sejak saat itu, Si Landak Sial dan keturunan-keturunannya dikenal sebagai pemilik seribu nyawa. Tahan dari injakan-injakan mematikan, dan memiliki perlindungan terkuat. Bahkan tidak ada yang menyangka, bahwa Si Landak Sial mengandalkan duri-durinya.
            Siang itu, langit paceklik telah bersedia menjadi saksi. Bahwa yang terbesar bukan berarti terkuat, dan yang terkuat bukan berarti terhebat. Jangan terlalu dini untuk berbangga diri sebelum kamu benar-benar yakin bahwa musuhmu tidak menyimpan kekuatan apa pun lagi. Karena kekuatan terkuat adalah yang tidak diketahui oleh musuhnya.
~***~
Selesai
Subang, 28 Oktober 2015
21.49


Tidak ada komentar:

Posting Komentar