Seribu Nyawa
Landak
Hana’ Sausan Jupriyanto
Konon, ribuan tahun yang lalu,
ketika hewan-hewan masih dengan leluasa berbicara satu sama lain tanpa harus
selalu khawatir diketahui manusia, hiduplah seekor landak yang malang. Karena
nasibnya yang selalu sial itulah ia dikenal sebagai Si Landak Sial.
Pada suatu hari, Si Landak Sial
tengah uring-uringan menapakkan kaki-kaki mungilnya di tengah ganasnya musim
paceklik. Bagaimana tidak? Lihatlah, musim paceklik selalu berhasil menumpuk
kesialannya. Sudah tiga hari Si Landak Sial tidak menjumpai makanannya, dan
sudah tiga hari pula Si Landak Sial tidak juga mengisi perutnya.
Dan siang ini adalah puncak
penderitaannya. Dengan perut tanpa penghuni sejentik pun, di bawah teriknya
mentari musim paceklik, Si Landak Sial benar-benar tersungkur, dagunya sempurna
berkontak dengan tanah. Dan ketika Si Landak Sial benar-benar merasa akan
berakhir saat itu juga, sebuah keajaiban melintas.
“Selamat siang, Paman Landak yang
selalu Sial!” lihatlah, kini telah berdiri dengan gagahnya seekor anak gajah
tepat di depan hidung Si Landak Sial.
Sekonyong-konyong, saat itu juga,
dagu Si Landak Sial kembali terangkat. Dendam
tak berkesudahan, entah kekuatan darimana yang didapatnya untuk kembali
bangkit seketika itu juga ketika melihat musuh bebuyutannya berdiri mengejek,
“Hei, Anak Gajah! Apa maumu? Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Jangan begitu, Paman.” Anak Gajah
mengitari tubuh kerdil Si Landak Sial, masih dengan tatapan merendahkan, “Sudah
untung ada saya di sini. Melihat dari wajah suram Paman Landak, perkiraan saya
yang sulit sekali meleset mengatakan Paman tengah sekarat. Jika tidak ada saya,
siapa yang akan menyingkirkan bangkai busuk Paman kelak?”
“Berani sekali kamu, Anak Gajah!”
gigi Si Landak Sial bergemerutuk, sorotan matanya yang menusuk pertanda tidak
baik, “Begini saja. Selama ini kamu selalu merasa lebih kuat dariku. Bagaimana
jika kita mengadakan duel?”
Demi melihat wajah sungguh-sungguh
Si Landak Sial, Anak Gajah terpingkal-pingkal, “Paman jangan bercanda! Bukankah
kalau begitu sudah jelas siapa yang menang?”
“Lihatlah, bayi besar sepertimu
bahkan sudah kalah sebelum berperang!” seloroh Si Landak Sial memanas-manasi.
Tawa Anak Gajah seketika hilang dari peredaran.
“Baik jika Paman memaksa. Toh, apa
yang Paman harapkan dari kesialan Paman?”
~***~
Seisi rimba heboh, bahkan beberapa
kalang kabut. Begitu kabar mengejutkan itu mengudara, penghuni rimba segera
saja bergerak pesat. Nyaris seluruh penghuni rimba memojokkan Si Landak Sial.
Mengatakan yang inilah, yang cari matilah, yang itulah. Tapi, toh apa peduli Si
Landak Sial?
Jika ia menang, maka ia akan berjaya
dalam waktu cukup lama. Jika ia kalah, maka ia akan mati seketika. Lebih baik
ketimbang tidak jadi apa-apa.
“Untuk duelmu nanti, apa yang akan
kamu andalkan, Landak Sial?”
“Kamu jangan mengada-ada! Sudah
jelas keluarga gajah-lah yang terkuat!”
“Menyerah sajalah, Landak Sial!
Sekali sial maka selamanya tetap begitu!”
Semakin mendekati hari pelaksanaan,
cemoohan demi cemoohan bagai makin deras mengguyur kuping Si Landak Sial. Baiklah, untuk fase awal kali ini, kamu
boleh berjaya, Anak Gajah!, batin Si Landak Sial dengan rasa kesal yang
kian memuncak.
Kabar menghebohkan ini telah sampai
di telinga Lio, Si Raja Hutan. Ketika mendengar ajudannya melapor, Lio hanya
tersenyum simpul. Aku mengerti apa yang
kamu rencakan, Landak, batinnya. Berita kian memanas, Lio si Raja Hutan
mengumumkan akan menentukan jenis duel apakah yang akan ditantang pada
keduanya.
“Yang Mulia, apa maksudnya?” kini,
Anak Gajah dan Si Landak Sial telah sempurna menghadap rajanya. Lio seperti
biasa, hanya menyungging senyum bijak andalannya.
“Seperti yang kalian sepakati, duel
itu akan dilakukan esok. Dan aku akan senang jika kalian benar-benar
mengizinkanku menentukan duel itu.” Lio menganggukkan kepalanya, meminta
persetujuan. Anak Gajah dan Si Landak Sial saling tengok, bertukar argumen,
meminta pendapat satu-sama lain. Hanya lewat anggukan kecil, namun cukup untuk
membuat Lio kembali menyungging senyumnya.
Kali ini senyum dengan makna lain.
~***~
“Yak! Berjumpa dengan saya, Ruuse si
Rusa, yang akan menemani penonton sekalian selama beberapa waktu kedepan dalam
Pertunjukkan Duel antara Anak Gajah dan Si Landak Sial.” ya ampun, gemuruh
sorak-sorai memenuhi aula istana. Raja Lio tampak mengawasi dari kejauhan, kali
ini dengan senyum yakin.
“Tanpa menunda-nunda lagi, langsung
saja saya bacakan duel tantangan dari Yang Mulia Raja Hutan...” kalimat dengan
huruf n sebagai penghujungnya itu
menjelma sebagai penyerap keriuhan aula. Seketika, aula menegang. Tidak satu
pun berani bersuara, bernafas dengan suara sedikit
lebih kencang pun akan sangat mengganggu.
“Duel pertama, kedua peserta
diharuskan untuk memindahkan kayu-kayu ini ke ujung sana dalam waktu 30 detik.”
Semua terperangah.
Itu terlalu mustahil! Dikira, duel
ini akan diseimbangkan dengan kekuatan kedua belah pihak, rupanya bayang-bayang
itu meleset jauh. Sudah jelas siapa yang akan memenangkannya, mana mungkin landak bertubuh kecil mungil
itu bisa melakukannya? Lihatlah, Anak Gajah tampak dengan mudahnya
memindahkan kayu-kayu dengan belalainya, sementara Si Landak Sial tampak
kepayahan membopong setengah dari satu batang kayu.
Hanya dengan sekali terka, seisi
ruangan sudah jelas tahu siapa pemenang duel pertama ini. Dibuktikan dengan
kenyataannya yang terjadi 30 detik kemudian; Anak Gajah unggul satu poin di
awal dari Si Landak Sial.
“Duel kedua, masing-masing peserta
diharuskan untuk bergelantungan di dahan pohon. Yang terlama adalah
pemenangnya.”
Lagi-lagi, semua terperangah.
Si Landak Sial hendak menggantung
diri di pohon apa? Ketika Si Landak Sial mendekati pohon toge di sisi istana,
Ruuse menahannya, dan sejurus kemudian menunjuk satu pohon terendah yang ada di lingkungan istana. Namun, apa daya, pohon terendah pun terlalu tinggi untuk Si Landak Sial.
Dan di sisi lain, Anak Gajah dengan
bangga menunjukkan kebolehannya melakukan beberapa atraksi seraya bergelantungan
di salah satu dahan pohon mangga tua.
“Dua kali menang, namun bukan
berarti itu menjanjikan.” Ruuse bagai menyinggung status Anak Gajah secara
terang-terangan, “Karena bobot dari duel terakhir sama dengan memenangkan
duel-duel sebelumnya.”
Si Landak Sial tampak telah
kehabisan antusiasmenya. Harusnya aku
tidak terlalu memaksakan diri, sudah jelas siapa yang menang, pikirnya kala
itu. Tatapannya terbuang jauh ke luar jendela istana, berharap duel konyol ini segera berhenti.
Kebalikannya, Anak Gajah justru
semakin bersemangat.
“Duel terakhir, masing-masing
peserta harus mencoba untuk menginjak lawan. Dan yang pertama kali dagunya
menyentuh tanah adalah yang tersingkir.”
WHIINGZ!
Kedua kelopak mata Si Landak Sial
kembali terjaga sepenuhnya. Ini, ini dia
yang dinanti-nanti olehnya! Duel inilah yang selama ini ada dalam benaknya!
Duel terakhir dimulai. Keduanya
tampak sengit berusaha mengincar kaki lawan. Entah mujur entah sial, Anak Gajah
berkali-kali berhasil menginjak Si Landak Sial, bukan hanya kakinya saja.
Namun, semangat Si Landak Sial tidak akan redup lagi. Ia tidak akan sudi
membiarkan dagunya menyentuh tanah.
“Astaga, itu injakkan yang ketujuh
kalinya!” bisik penonton.
“Ia masih hidup? Ya ampun!”
“Anak Gajah mulai kelelahan. Lihat
itu!”
“Ruuse! Hentikan duel sejenak! Anak
Gajah tampak kesusahan!” seekor penonton nekat mengomando.
Demi melihat ekspresi
cemas-marah-kecewa para penonton, maka duel pun dihentikan untuk beberapa saat.
Baik Anak Gajah maupun Si Landak
Sial, keduanya beristirahat di titik awal masing-masing. Jika setelah itu Si
Landak Sial duduk termenung sendiri, Anak Gajah justru sebaliknya.
Kerabat-kerabatnya heboh mengurus, menyemangati, bahkan memberi masukan.
Tiba-tiba, kerumunan kerabat jauh
maupun dekat dari Anak Gajah berteriak histeris. Lihat! Anak Gajah baru saja
membuka kaki-kakinya yang tadi digunakan untuk upaya merobohkan Si Landak Sial,
dan kondisinya benar-benar tidak baik.
Kakinya berdarah-darah, benar-benar
mengerikan.
“Bagaimana mungkin bisa?”
“Bukankah tadi yang terinjak Si
Landak Sial? Mengapa yang kesakitan justru Anak Gajah? Bukankah itu di luar
nalar?”
“Mungkin Landak Sial melakukan
kecurangan...”
“Bukannya aku membela, namun itu
tampak mustahil. Ayolah, siapa yang hendak bekerjasama dengan hewan sepertinya?”
Bisikan demi bisikan kembali
hilir-mudik.
Si Landak Sial tersenyum puas, ini maksud dari semua kenekatannya.
Tidak lama kemudian, Lio si Raja Hutan muncul di belakang Si Landak Sial. Lalu keduanya mendekati Anak Gajah yang
tengah merengek kesakitan di titik awalnya.
“Bagaimana? Apakah duelnya bisa
kembali dilanjut?” tanya Lio si Raja Hutan baik-baik. Bukannya menggeleng atau
mengangguk, Anak Gajah justru bangkit dengan amarah menggelora. Bagai kesetanan
di siang bolong.
“Akan kuhabisi Paman saat ini juga!”
Praaaak!
Tepat ketika Anak Gajah mendaratkan
kakinya di tubuh Si Landak Sial, duri-duri tajamnya itu berdiri sempurna.
Duri-duri yang sekian lama disembunyikan dari sepengetahuan warga rimba, yang
bahkan hingga Anak Gajah limbung dan dagunya menyentuh tanah pun masih belum
diketahui warga rimba.
Seisi ruangan diam mematung. Sepersekian
detik, hingga akhirnya sorak-sorai membanjiri aula istana. Hewan-hewan
berdesak-desakan turun dari podium untuk memberi selamat pada Si Landak Sial.
Sejak saat itu, Si Landak Sial dan
keturunan-keturunannya dikenal sebagai pemilik
seribu nyawa. Tahan dari injakan-injakan mematikan, dan memiliki
perlindungan terkuat. Bahkan tidak ada yang menyangka, bahwa Si Landak Sial
mengandalkan duri-durinya.
Siang itu, langit paceklik telah
bersedia menjadi saksi. Bahwa yang terbesar bukan berarti terkuat, dan yang
terkuat bukan berarti terhebat. Jangan terlalu dini untuk berbangga diri
sebelum kamu benar-benar yakin bahwa musuhmu
tidak menyimpan kekuatan apa pun lagi. Karena kekuatan terkuat adalah yang tidak diketahui oleh musuhnya.
~***~
Selesai
Subang,
28 Oktober 2015
21.49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar