Pahlawan
yang tak terlupakan
Oleh : Muhammad Al-Faatih Jumaedi
Saat
aku kelas VI, ia bertanya kepadaku, “Bang kalau sudah lulus abang mau kemana ?“
tanya ayahku. “ Nggak tahu, tapi maunya sih ikut sama teman se-SD “ jawabku. Kemudian ayah ku ber-oh panjang.
Esoknya ibuku bertanya kepadaku, “ Bang, Abang mau nggak masuk As Syifa ?” tanya ibuku.
“ Emang bisa ?” tanyaku lagi.
“ Pasti bisa.” jawab ibuku dengan semangat.
Kemudian di malam harinya aku mendengar percakapan orangtuaku di kamar. Sesaat aku menunggu sesuatu yang terjadi.
Esoknya ibuku bertanya kepadaku, “ Bang, Abang mau nggak masuk As Syifa ?” tanya ibuku.
“ Emang bisa ?” tanyaku lagi.
“ Pasti bisa.” jawab ibuku dengan semangat.
Kemudian di malam harinya aku mendengar percakapan orangtuaku di kamar. Sesaat aku menunggu sesuatu yang terjadi.
Setelah masuk Assyifa, aku bilang pada diri sendiri, “ Bang belajar yang rajin, jangan mengecewakan abi sama umi. “
Menjelang sore, ayahku pulang. Akupun tinggal di asrama sekarang. Akhirnya, 1 tahun berlalu. Aku pun pulang dan berlibur.
Saat di rumah aku ingin mengetahui apa yang satu tahun lalu dibicarakan . Ternyata itu adalah menjual salah satu barang yang berguna bagi ayahku. Beliau telah mengorbankan barang yang diperlukan untuk biaya sekolahku. Akupun sedih melihat catatan ayahku . Bayaran yang belum terbayar dimana-mana di tulis di sana-sini . Suatu malam yang sangat penuh penyesalan bagiku . Saat itu kulihat ayahku shalat malam dan aku mendengar doanya. Aku menangis dan menuju ke kasur dan menutup kepalaku dengan bantal. Dan hari kepulanganku ke asrama pun tiba.
Saat
aku akan berpisah, aku bertanya kepada kedua orang tuaku, “Abi kapan mau jenguk lagi
?” tanyaku.
“Insya Allah, Nak kalau sempat.“ kata ayahku.
Saat pulang, aku melepas rinduku yang pertama kalinya. Aku menangis dan memeluk ayahku. “ Jangan nangis dong, kan sudah kelas VIII. “ kata ayahku. Mungkin ayahku tidak tahu apa yang kubaca pada malam hari saat akan pulang ke As Syifa, Kami pun berpisah. Aku janji akan berusaha untuk menjadi yang lebih baik.
“Insya Allah, Nak kalau sempat.“ kata ayahku.
Saat pulang, aku melepas rinduku yang pertama kalinya. Aku menangis dan memeluk ayahku. “ Jangan nangis dong, kan sudah kelas VIII. “ kata ayahku. Mungkin ayahku tidak tahu apa yang kubaca pada malam hari saat akan pulang ke As Syifa, Kami pun berpisah. Aku janji akan berusaha untuk menjadi yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar