Rabu, 06 Januari 2016

TAK ADA YANG SIA-SIA



TAK ADA YANG SIA-SIA
Oleh : Mukhlish Laya

            Hampir setiap orang tidak mengenal sosok yang satu ini. Bahkan, hanya keluarga dan segelintir orang saja yang mengetahuinya. Pertama kali ia membuka lembaran hidupnya di Jakarta, 8 September 1971. Beberapa tahun kemudian, ia beserta keluarga besarnya pindah ke kota kelahiran orang tuanya, Palu. Ia bersekolah dari TK sampai SMA-nya di pulau yang berbentuk huruf ‘k’ itu. Setelah lulus SMA, ayahnya meminta ia untuk kuliah di ITB, Bandung. Sesuai dengan apa yang keluar dari lisan ayahnya, ia pun terpaksa meniti kehidupan  baru di Bandung. Bayangkan saja, jauh-jauh dari Palu hanya untuk bersekolah di Universitas ternama di Bandung. Pasti dari tadi kalian bertanya-tanya, siapakah gerangan sosok pengembara lintas pulau yang tangguh ini? Tentu saja, ia tidak lain dan tidak bukan adalah ayahku, MOHAMMAD DERMAWAN LAYA.

            Ia adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Sejak SD, ia tak pernah luput dari kejahilannya. Bagaikan lem perekat jika terkena tangan, sudah macam bersatu saja. Baginya itulah masa kelam yang begitu gelap pekat. Sangat gelap. Kakekku pun dibuat pusing karenanya.Walaupun Kakekku adalah orang yang sangat disiplin. Salah sedikit langsung dieksekusi. Tetapi, hal itu tak membuat semangat kejahilannya menciut. Ia tetap nekad akan hal itu. Seiring berjalannya waktu, ia mulai beranjak remaja. Pasca ujian, nilai-nilai akademiknya pun banyak yang jeblok, ia tak pernah mendapatkan nilai 7,6 apalagi 5, melainkan 2 dan 3. Itu saja angka yang tertera pada ujian matematikanya.

            Tidak terasa, waktu memang begitu cepat berlalu. Laksana peluru yang melesat begitu cepatnya. Orangtuanya meminta dirinya untuk melanjutkan kuliah di Bandung. Ia pun merasa sedih harus berpisah dengan kota dimana ia dibesarkan. Tetapi, apa boleh buat, dengan berat hati ia meninggalkan pulau ‘k’ itu. Air matanya pun meleleh seketika, bak air terjun yang jatuh begitu derasnya. Membentuk aliran sungai kecil di lesung pipinya.

            Sesampainya di sana, ia menginap di rumah sanak saudaranya yang masih terhitung sepupu. Di rumah saudaranya ia diajarkan bagaimana cara beradab yang benar dan baik, ia juga dimotivasi, didukung serta belajar beribadah yang benar. Hari demi hari, bulan demi bulan, ia lalui dengan begitu semangat dengan sepupunya. Ditambah lagi, dukungan dan motivasi dari teman-teman sekampusnya itu. Hal ini membuahkan hasil, ia berubah menjadi 180 derajat.

            Tak lama kemudian, ia pun menikah dengan wanita berdarah Surabaya asal Jakarta, dan itulah ibuku. Sayngnya, pernikahannya terbilang telat karena sudah menginjak 29 tahun. Hampir berkepala 3. Nyaris sekali. Ia pun mulai membangun rumah tangganya. 2 tahun setelahnya lahirlah aku, si anak sulung. 3 tahun kemudian, lahirlah adikku. Dan terakhir pada awal 2011, lahirlah si bungsu. Hasil dari pernikahan ini juga sedikit membantunya. Mendapatkan istri yang paham agama membuat ia sangat sangat sangat terbantu. Sekarang ia sudah banyak memahami ilmu agama, ilmu bidang ini dan itu. Dan ilmu itu akan diwariskan kepada sang putra mahkota, penerus LAYA(margaku) satu-satunya dari garis keturunan Kakekku.
 
            Begitulah sepenggal kisah perjalanan seorang ayahku. Ia begitu berjasa dalam kehidupanku selama ini. Ia sering mensupport dan memotivasiku. “Asal kita mau berusaha, tidak ada yang sia-sia. Allah tidak menilai hasil, melainkan usaha kita sendiri,” ujarnya. Itulah salah satu kalimat motivasi yang kudapat darinya. Beliau begitu bersabar dalam segala apapun yang kulakukan. Setiap orang itu akan sukses bila ia yakin akan sukses. Allahu Akbar!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar