TAK ADA YANG SIA-SIA
Hampir setiap orang tidak mengenal sosok yang satu
ini. Bahkan, hanya keluarga dan segelintir orang saja yang mengetahuinya.
Pertama kali ia membuka lembaran hidupnya di Jakarta, 8 September 1971.
Beberapa tahun kemudian, ia beserta keluarga besarnya pindah ke kota kelahiran
orang tuanya, Palu. Ia bersekolah dari TK sampai SMA-nya di pulau yang
berbentuk huruf ‘k’ itu. Setelah lulus SMA, ayahnya meminta ia untuk kuliah di
ITB, Bandung. Sesuai dengan apa yang keluar dari lisan ayahnya, ia pun terpaksa
meniti kehidupan baru di Bandung.
Bayangkan saja, jauh-jauh dari Palu hanya untuk bersekolah di Universitas
ternama di Bandung. Pasti dari tadi kalian bertanya-tanya, siapakah gerangan
sosok pengembara lintas pulau yang tangguh ini? Tentu saja, ia tidak lain dan
tidak bukan adalah ayahku, MOHAMMAD DERMAWAN LAYA.
Ia adalah anak pertama dari 3
bersaudara. Sejak SD, ia tak pernah luput dari kejahilannya. Bagaikan lem
perekat jika terkena tangan, sudah macam bersatu saja. Baginya itulah masa
kelam yang begitu gelap pekat. Sangat gelap. Kakekku pun dibuat pusing
karenanya.Walaupun Kakekku adalah orang yang sangat disiplin. Salah sedikit
langsung dieksekusi. Tetapi, hal itu tak membuat semangat kejahilannya menciut.
Ia tetap nekad akan hal itu. Seiring berjalannya waktu, ia mulai beranjak
remaja. Pasca ujian, nilai-nilai akademiknya pun banyak yang jeblok, ia tak
pernah mendapatkan nilai 7,6 apalagi 5, melainkan 2 dan 3. Itu saja angka yang
tertera pada ujian matematikanya.
Tidak terasa, waktu memang begitu
cepat berlalu. Laksana peluru yang melesat begitu cepatnya. Orangtuanya meminta
dirinya untuk melanjutkan kuliah di Bandung. Ia pun merasa sedih harus berpisah
dengan kota dimana ia dibesarkan. Tetapi, apa boleh buat, dengan berat hati ia
meninggalkan pulau ‘k’ itu. Air matanya pun meleleh seketika, bak air terjun
yang jatuh begitu derasnya. Membentuk aliran sungai kecil di lesung pipinya.
Sesampainya di sana, ia menginap di
rumah sanak saudaranya yang masih terhitung sepupu. Di rumah saudaranya ia
diajarkan bagaimana cara beradab yang benar dan baik, ia juga dimotivasi,
didukung serta belajar beribadah yang benar. Hari demi hari, bulan demi bulan,
ia lalui dengan begitu semangat dengan sepupunya. Ditambah lagi, dukungan dan
motivasi dari teman-teman sekampusnya itu. Hal ini membuahkan hasil, ia berubah
menjadi 180 derajat.
Tak lama kemudian, ia pun menikah
dengan wanita berdarah Surabaya asal Jakarta, dan itulah ibuku. Sayngnya,
pernikahannya terbilang telat karena sudah menginjak 29 tahun. Hampir berkepala
3. Nyaris sekali. Ia pun mulai membangun rumah tangganya. 2 tahun setelahnya
lahirlah aku, si anak sulung. 3 tahun kemudian, lahirlah adikku. Dan terakhir
pada awal 2011, lahirlah si bungsu. Hasil dari pernikahan ini juga sedikit
membantunya. Mendapatkan istri yang paham agama membuat ia sangat sangat sangat
terbantu. Sekarang ia sudah banyak memahami ilmu agama, ilmu bidang ini dan
itu. Dan ilmu itu akan diwariskan kepada sang putra mahkota, penerus
LAYA(margaku) satu-satunya dari garis keturunan Kakekku.
Begitulah sepenggal kisah perjalanan seorang ayahku. Ia begitu berjasa dalam kehidupanku selama ini. Ia sering mensupport dan memotivasiku. “Asal kita mau berusaha, tidak ada yang sia-sia. Allah tidak menilai hasil, melainkan usaha kita sendiri,” ujarnya. Itulah salah satu kalimat motivasi yang kudapat darinya. Beliau begitu bersabar dalam segala apapun yang kulakukan. Setiap orang itu akan sukses bila ia yakin akan sukses. Allahu Akbar!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar