Rabu, 06 Januari 2016

PENGKHIANATAN TAK TERDUGA



PENGKHIANATAN TAK TERDUGA
Oleh ; Mukhlish Laya 8 Abu Bakar

 

H
ujan telah usai membungkus hutan. Kilau petir nampaknya sudah letih menyambar-nyambar. Sinar mentari kembali nampak samar-samar dari balik awan. Cahayanya mulai menerpa dedaunan yang indah nan rimbun itu. Awan telah selesai memuntahkan segala isi tubuhnya. Butir-butir air hujan telah hilang. Lenyap dari hutan itu. Hilang seketika. Pelangi berdiri kokoh di antara awan-awan. Satu warna dengan warna lainnya saling bahu membahu dalam membentuk suatu keetisiskaan yang harmonis. Langit kembali biru dan cerah, setelah mendung beberapa waktu lalu. Semua satwa kebali dari sarangnya. Di sisi lain, daun-daun semak belukar bergerak. Mengundang penuh misteri. Membuat jutaan mata yang melihatnya tercengang. Kaget. Menebak-nebak apa yang terjadi berikutnya. 

“Gaga, aku mendapat makanan lagi,” Kelinci itu baru saja keluar dari sela-sela semak belukar.
“Wah, padi merah! Ini langka sekali bukan?” Gaga si Gajah begitu tertarik.
“Benar, aku menemukannya di hutan seberang,” Kelinci itu menjelaskan, namanya Kiki.
“Beberapa hari lagi musim kemarau, kita harus mencari lebih banyak makanan lagi,” lanjutnya.
“Sudah siang, mari kita pulang!” ajak Gaga.
Mereka pulang ke arah yang sama. Rumah mereka memang berdekatan. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, sebuah suara terdengar mengagetkan sekali.
                “Bolehkah aku bergabung?” suaranya memecah keheningan.

Itu suara yang mereka kenali. Yup! Itulah suara Ulo si Ular. Mereka merinding ketakutan. Satu-persatu bulu kuduk mulai berdiri. Keringat dingin pun mulai berjatuhan.
                “Aku janji, akan mengikuti kalian, sebentar lagi kemarau tiba, aku belum menyimpan makanan sedikit pun,” lanjutnya.
Kiki dan Gaga tertegun. Mereka berdua saling tatap. Bingung akan menjawab apa.
                “Ayolah, aku sudah sejak lama menjadi teman kalian,” wajahnya terlihat memelas.
                “Baiklah, syaratnya hanya satu,” Gaga memberanikan diri.
                “Aku akan menepatinya, apapun itu, asal jangan yang di luar akal kita,”
                “Jangan berkhianat,”

Hari silih berganti. Tak terasa kemarau sudah tiba. Tumbuh-tumbuhan mulai mengering. Hewan yang lemah, mati begitu saja. Ulo telah bergabung dengan mereka. Kini, nyawanya terselamatkan. Namun, apa yang dikhawatirkan Gaga benar-benar akan terjadi, dalam beberapa hari ke depan.

                “Kiki, Ulo, mari kita pulang,” ajak Gaga. Ia memang memiliki kedisiplinan tinggi.
                “Kalian duluan saja,” Ulo memberitahu.
                “Baiklah, jangan dihabiskan, kemarau masih panjang lho,” Kiki mengingatkan.
                “Jangan tinggalkan jejak! Tutupi dengan semak!” tambah Gaga.
                “Baik,” wajahnya tak terlihat mencurigakan.

Kiki dan Gaga pergi meninggalkan Ulo. Suasana di gudang makanan mereka lengang sejenak. Menyisakan 2 makhluk, ia dan sepi.
Esok harinya, Kiki dan Gaga mendapati gudang makanan mereka berantakan. Seperti ada yang memporak-porandakan. Tak ada makanan sedikit pun barang secuil. Mereka sangat terkejut.
                “Apa yang telah terjadi???” Kiki sangat marah.
                “Siapa yang telah berani berbuat sekejam ini?” emosi Gaga mulai terpancing.
                “Siapa lagi kalau bukan dia,”

Kiki menunjuk ke sudut gudang, ada ular tertidur di sana. Perutnya terlihat sedikit buncit. Sepertinya Kiki kenal. Sosok ular berwarna hitam kecoklat-coklatan itu adalah pengkhianat besar. Memang tak disangka! Persahabatan beberapa bulan terakhir retak begitu saja. Itulah Ulo si Ular.
                “Ulo, bangun kau!” suara Gaga terdengar menggelegar ke sudut-sudut gudang.
                “Hoaaaahm...kenapa kalian membangunkanku?” tanya Ulo. Wajahnya terlihat tados.
                “Jangan pura-pura tak tau, kau yang berbuat semua ini kan?” tanya Kiki.
                “Hah,” Ulo nampak bingung. Berusaha menyembunyikan wajah tadosnya.
                “Mari sini kau! Ikut kami ke ruang hakim sekarang juga,” Gaga membawa Ulo dengan belalainya.
                “Ada Hakim Kancil di sana,” Kiki berusaha menakut-nakuti.

Sesampainya di ruang hakim, kebetulan saja! Kancil ada! Juga tak ada yang mengantri untuk dihakimi. Gaga dan Kiki langsung saja bercerita panjang lebar. Sementara, Ulo berusaha tenang. Ia memasang wajah tak tau apa-apa kali ini.
                “Oh, jadi begitu ceritanya,” Chilly si Kancil mengerti.
                “Kalau begitu, Ulolah pencurinya,” tampang Chilly begitu serius.
                “Hah?” jantung mulai berdetak cepat. Kakinya terlihat gemetar. Keringat dingin bercucuran.
                “Kau dihukum, “ palu diketuk 3 kali, menandakan keputusan Chilly telah bulat.
                “Kau harus mencari padi merah sebanyak 50 buah saja, jika kau lupa, akan kulaknat kau,” ancamnya.
Dengan berat hati, Ulo pergi meninggalkan hutan tercinta. Ia melata tak tentu arah. Tiba-tiba...
                “Ini kan di...” suaranya terputus.
Ia tepat berada di antara jutaan padi. Namun, bukan padi merah. Melainkan kuning, disebabkan kemarau yang berkepanjangan.
                “Selain padi, tikus pun banyak,” ia senang sekali.
Ulo pun segera memangsa para tikus. Ia telah lupa akan hukuman Chilly sang Kancil. Jika tidak menepatinya akan dilaknat. Walaupun ia telah memasuki kawasan padi merah. Setiap padi merah yang dilewatinya berubah menjadi padi kuning.
Akibat perbuatan Ulolah, hingga kini padi merah tak pernah ditemui. Hilang. Lenyap dari dunia ini. Jika pun ada beras merah, mungkin itu adalah sisa-sisa. Ular sawah pun adalah keturunan Ulo si Ular. Mereka memangsa tikus setiap harinya. Sampai sekarang, tak pernah ada ular sawah yang opergi ke hutan, karena taku dengan cerita nenek moyangnya.

                -Wamayyaglul ya’ti bimaa golla yaumal qiyaamah-
                -Barangsiapa yang berkhianat, maka pada hari kiamat, ia akan datang dengan apa yang    dikhianatkannya itu-QS. Ali Imran : 161


                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar