|
H
|
ujan telah usai membungkus hutan. Kilau petir
nampaknya sudah letih menyambar-nyambar. Sinar mentari kembali nampak samar-samar dari balik awan. Cahayanya mulai menerpa dedaunan yang
indah nan rimbun itu. Awan telah selesai memuntahkan segala isi tubuhnya.
Butir-butir air hujan telah hilang. Lenyap dari hutan itu. Hilang seketika.
Pelangi berdiri kokoh di antara awan-awan. Satu warna dengan warna lainnya
saling bahu membahu dalam membentuk suatu keetisiskaan yang harmonis. Langit
kembali biru dan cerah, setelah mendung beberapa waktu lalu. Semua satwa kebali
dari sarangnya. Di sisi lain, daun-daun semak belukar bergerak. Mengundang
penuh misteri. Membuat jutaan mata yang melihatnya tercengang. Kaget.
Menebak-nebak apa yang terjadi berikutnya.
“Gaga, aku mendapat
makanan lagi,” Kelinci itu baru saja keluar dari sela-sela semak belukar.
“Wah, padi merah! Ini
langka sekali bukan?” Gaga si Gajah begitu tertarik.
“Benar, aku
menemukannya di hutan seberang,” Kelinci itu menjelaskan, namanya Kiki.
“Beberapa hari lagi
musim kemarau, kita harus mencari lebih banyak makanan lagi,” lanjutnya.
“Sudah siang, mari
kita pulang!” ajak Gaga.
Mereka pulang ke arah yang sama. Rumah mereka
memang berdekatan. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, sebuah suara
terdengar mengagetkan sekali.
“Bolehkah
aku bergabung?” suaranya memecah keheningan.
Itu suara yang mereka kenali. Yup! Itulah
suara Ulo si Ular. Mereka merinding ketakutan. Satu-persatu bulu kuduk mulai
berdiri. Keringat dingin pun mulai berjatuhan.
“Aku
janji, akan mengikuti kalian, sebentar lagi kemarau tiba, aku belum menyimpan
makanan sedikit pun,” lanjutnya.
Kiki dan Gaga tertegun. Mereka berdua saling
tatap. Bingung akan menjawab apa.
“Ayolah,
aku sudah sejak lama menjadi teman kalian,” wajahnya terlihat memelas.
“Baiklah,
syaratnya hanya satu,” Gaga memberanikan diri.
“Aku
akan menepatinya, apapun itu, asal jangan yang di luar akal kita,”
“Jangan
berkhianat,”
Hari silih berganti.
Tak terasa kemarau sudah tiba. Tumbuh-tumbuhan mulai mengering. Hewan yang
lemah, mati begitu saja. Ulo telah bergabung dengan mereka. Kini, nyawanya
terselamatkan. Namun, apa yang dikhawatirkan Gaga benar-benar akan terjadi,
dalam beberapa hari ke depan.
“Kiki,
Ulo, mari kita pulang,” ajak Gaga. Ia memang memiliki kedisiplinan tinggi.
“Kalian
duluan saja,” Ulo memberitahu.
“Baiklah,
jangan dihabiskan, kemarau masih panjang lho,” Kiki mengingatkan.
“Jangan
tinggalkan jejak! Tutupi dengan semak!” tambah Gaga.
“Baik,”
wajahnya tak terlihat mencurigakan.
Kiki dan Gaga pergi meninggalkan Ulo. Suasana
di gudang makanan mereka lengang sejenak. Menyisakan 2 makhluk, ia dan sepi.
Esok harinya, Kiki dan Gaga mendapati gudang
makanan mereka berantakan. Seperti ada yang memporak-porandakan. Tak ada
makanan sedikit pun barang secuil. Mereka sangat terkejut.
“Apa
yang telah terjadi???” Kiki sangat marah.
“Siapa
yang telah berani berbuat sekejam ini?” emosi Gaga mulai terpancing.
“Siapa
lagi kalau bukan dia,”
Kiki menunjuk ke sudut gudang, ada ular
tertidur di sana. Perutnya terlihat sedikit buncit. Sepertinya Kiki kenal.
Sosok ular berwarna hitam kecoklat-coklatan itu adalah pengkhianat besar.
Memang tak disangka! Persahabatan beberapa bulan terakhir retak begitu saja.
Itulah Ulo si Ular.
“Ulo,
bangun kau!” suara Gaga terdengar menggelegar ke sudut-sudut gudang.
“Hoaaaahm...kenapa
kalian membangunkanku?” tanya Ulo. Wajahnya terlihat tados.
“Jangan
pura-pura tak tau, kau yang berbuat semua ini kan?” tanya Kiki.
“Hah,”
Ulo nampak bingung. Berusaha menyembunyikan wajah tadosnya.
“Mari
sini kau! Ikut kami ke ruang hakim sekarang juga,” Gaga membawa Ulo dengan
belalainya.
“Ada
Hakim Kancil di sana,” Kiki berusaha menakut-nakuti.
Sesampainya di ruang
hakim, kebetulan saja! Kancil ada! Juga tak ada yang mengantri untuk dihakimi.
Gaga dan Kiki langsung saja bercerita panjang lebar. Sementara, Ulo berusaha
tenang. Ia memasang wajah tak tau apa-apa kali ini.
“Oh,
jadi begitu ceritanya,” Chilly si Kancil mengerti.
“Kalau
begitu, Ulolah pencurinya,” tampang Chilly begitu serius.
“Hah?”
jantung mulai berdetak cepat. Kakinya terlihat gemetar. Keringat dingin
bercucuran.
“Kau
dihukum, “ palu diketuk 3 kali, menandakan keputusan Chilly telah bulat.
“Kau
harus mencari padi merah sebanyak 50 buah saja, jika kau lupa, akan kulaknat
kau,” ancamnya.
Dengan berat hati, Ulo pergi meninggalkan
hutan tercinta. Ia melata tak tentu arah. Tiba-tiba...
“Ini
kan di...” suaranya terputus.
Ia tepat berada di antara jutaan padi. Namun,
bukan padi merah. Melainkan kuning, disebabkan kemarau yang berkepanjangan.
“Selain
padi, tikus pun banyak,” ia senang sekali.
Ulo pun segera memangsa para tikus. Ia telah
lupa akan hukuman Chilly sang Kancil. Jika tidak menepatinya akan dilaknat.
Walaupun ia telah memasuki kawasan padi merah. Setiap padi merah yang
dilewatinya berubah menjadi padi kuning.
Akibat perbuatan Ulolah, hingga kini padi
merah tak pernah ditemui. Hilang. Lenyap dari dunia ini. Jika pun ada beras
merah, mungkin itu adalah sisa-sisa. Ular sawah pun adalah keturunan Ulo si
Ular. Mereka memangsa tikus setiap harinya. Sampai sekarang, tak pernah ada
ular sawah yang opergi ke hutan, karena taku dengan cerita nenek moyangnya.
-Wamayyaglul
ya’ti bimaa golla yaumal qiyaamah-
-Barangsiapa
yang berkhianat, maka pada hari kiamat, ia akan datang dengan apa yang dikhianatkannya itu-QS. Ali Imran : 161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar