Kamis, 07 Januari 2016

RUSA TAK BERDOSA



                                        RUSA TAK BERDOSA
                                                          OLEH M. ALFAN RUSYDA
 





Disuatu hutan nan lebat lagi sejuk, yang jika diperkecil lagi, di sebuah anak sungai yang berada di sebuah goa pendek yang akan menmuju suatu lubuk yang dinamai ‘Lubuk Larangan’. Di  sana, hidup sekelompok rusa yang ‘terlihat baik-baik saja’, mereka sedang bermain di dekat sungai.

“Ayah, kenapa kita tinggal di goa ini?” tanya seekor anak rusa.
 “Ayah tidak tahu pasti anakku, sejak ayah lahirpun, ayah sudah tinggal disini. Tetapi saat ayah masih kecil, ayah pernah diceritakan oleh kakekmu. Kata kakekmu, dulu para rusa bebas bermain dan berlarian disebuah pemukiman manusia. Hinga, ada sekelompok pemburu yang mengetahui bahwa di pemukiman tersebut terdapat kawanan rusa. Lantas, mereka menyerbu para rusa. Kakek dan nenekmu adalah 2 dari beberapa rusa yang selamat. Setelah itu, ayah tidak tahu kelanjutannya.” kata ayahnya yang mengenang cerita kake dari anaknya itu.

Tanpa mereka sadari, ada beberapa manusia yang sedang mengintip mereka melalui celah-celah ranting-ranting yang menutupi mulut goa  ̶̶̶ yang sebenarnya dibuat oleh leluhur kampung untuk melindungi rusa. Bukan, mereka bukanlah orang jahat. Mereka hanyalah dua dari empat bersaudara yang merupakan anak dari salah seorang tetua kampung yang bijak. Mereka ditemani pamannya  ̶  yang sejak kecil sering ‘mengunjungi’ hutan tersebut  ̶  melihat rusa-rusa tersebut dan menyebutnya, ‘mengintip putri mandi’. Mereka berdua sedang diajari tentang kebijakan leluhur kampung yang merupakan cabang dari kebijakan alam.

Beberapa minggu kemudian, ada beberapa orang pemburu yang mengetahui lokasi rusa-rusa tersebut. Mereka datang dan menangkap ayah rusa tersebut. Salah seorang pemburu terjerembab kedalam sungai dan tulang kakinya patah dua, salah satunya merobek kulit.

Di waktu yang bersamaan  dengan bersantainya empat anak dari salah satu tetua kampung yang bijak itu, Para Pemburu mengklakson kearah mereka. Sang Ayah pun beranjak mendekati mobil mereka sembari bertanya,
 “Ada yang bisa saya bantu?”.
 Salah seorang pemburu itu menjawab, “Kami membutuhkan air.”
 Sang Ayah berteriak kepada putri sulungnya, “Eli, bawakan beberapa botol air!”
Eli, putri sulungnya itu pun segera masuk kedalam untuk mengambil air.
Saat si sulung menghampiri mobil ia kaget, kaget tak hanya karena tulang kaki seorang pemburu menembus keluar, tetapi juga kaget karena melihat sebuah karung yang mengeluarkan darah.
“Tenang saja, ini balasan yang setimpal untuk hasil yang berharga ini.”
Sang Anak rusa yang sejak tadi mengikuti para pemburu dan bersembunyi di semak belukar sambil menahan tangis, seolah mengerti apa yang sedang dikatakan oleh pemburu tersebut.
Setelah para pemburu itu pergi, anak rusa tersebut menghampiri  empat orang anak dan ayahnya itu, lalu tauh terduduk dihadapan mereka. Si Sulung, Amelia merangkul anak rusa tersebut, seolah mengerti perasaan anak rusa tersebut. Amelia berbisik kepada anak rusa tersebut, ”Bersabarlah, aku mengerti...”
               
“Anak-anakku, janganlah kalian seperti mereka. Kalian boleh mengambil kekayaan alam, tapi hanya secukupnya, seperlunya. Jika kalian tamak mengambil kekayaan alam, memaksakan kehendak, yang akan menghentikan kalian hanyalah azab-Nya yang sangat pedih. Semua peraturan dari alam ini tujuannya adalah untuk membuat manusia berpikir sebelum bertindak. Itulah yang disebut  ̶ “
“Kebijakan leluhur kampung” jawab dua anaknya yang waktu itu melakukan hal ‘mengintip putrri mandi’.
“Hah? Jadi kalian sudah tahu ya?” tanya ayahnya.
”Paman yang memberi tahu kami.” jawabnya.

*Terinspirasi dari karya Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar